Kamis lalu tanggal 26 mei,presiden jokowi menerbitkan perppu 1 tentang penambahan hukuman kejahatan seksual.
Kejahatan seksual adalah extraordinary crime, kehajatan luar biasa. Apalagi kejahatan yang korbannya adalah anak anak.
Melihat dalam beberapa bulan terakhir kasus kejahatan seksual pada anak meningkat dan mengemuka dihadapan publik.
Kasus pemerkosaan beramai ramai hingga menyebabkan kematian yang sadis dan diluar kewarasan.
www.lensaindonesia.com/2016/05/15/ini-kronologis-pembunuhan-sadis-cewek-tewas-kemaluannya-ditancapi-gagang-pacul.html
Kasus pemerkosaan sadis yang berujung maut.
m.liputan6.com/regional/read/2499720/kronologi-kasus-kematian-yuyun-di-tangan-14-abg-bengkulu
Anak umur 2,5 tahun yang di perkosa hingga tewas.
m.suara.com/news/2016/05/11/220300/duh-balita-usia-25-tahun-diperkosa-hingga-tewas
Anak pulang SD les yang tiba tiba pulang sekolah di cegat lalu di seret ke gubuk lalu di perkosa oleh orang yang tidak di kenal.
m.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/05/11/o6zth1394-pulang-sekolah-siswi-kelas-vi-sd-diperkosa-di-kebun-kosong
Lalu anak umur 14 tahun yang di perkosa lebih dari satu orang hingga hamil 8 bulan.
www.trentekno.com/41140/diperkosa-5-orang-pria-dan-hamil-8-bulan-gadis-ini-tinggal-di-kandang-bebek/
Ini hanyalah sebagian yang di ungkap kehadapan publik. Sungguh miris dan sadis. Mendengarnya membuat hati nurani orang orang waras terenyuh.
Tidak semua korban mampu untuk melapor, karena korban ada yang malu, korban di ancam untuk di bunuh, korban takut dikucilkan dan membawa aib di mata masyarakat.
Pelaku dari kejahatan seksual ini bukan hanya orang tua tapi ada di antaranya masih di bawah umur.
Seseorang dikatakan masih anak anak saat umurnya masih di bawah 18 tahun.
Anak anak sekarang lebih cepat dewasa, bahkan umur 15 tahun pun sudah tau tentang seks yang pengawasannya tidak terkontrol.
Para pelaku umumnya melakukan hal tersebut dalam keadaan mabuk dan setelah menonton film porno.
Koq bisa anak anak melakukan hal itu?
Siapa yang salah?.
Fenomena ini membuat banyak masyarakat geram. Para pelaku harusnya di kebiri atau dihukum mati agar jera dan meminimalisir kasus kejahatan.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perrubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara.
Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.
Perppu ini mengubah dua pasal dari UU sebelumnya yakni pasal 81 dan 82, serta menambah satu pasal 81A. Berikut ini isi dari Perppu Nomor 1 Tahun 2016:
1. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 81
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(catatan: Pasal 76D dalam UU 23/2004 berbunyi
" Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. ")
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip.
(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
2. Di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 81A
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
(Catatan: Bunyi pasal 76E dalam UU 23/2004 berbunyi " Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul." )
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan cip.
(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
4. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 82A
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Keluarnya perppu ini memunculkan pro dan kontra. Masyarakat menilai baik dan diharapkan dapat meminimalisir kejahatan.
Sebaliknya pihak yang kontra menilai hal ini melanggar ham para pelaku, apalagi tentang hukuman kebiri kimiawi yang dapat menyebabkan masalah kesehatan terhadap pelaku di masa mendatang.
Saya tanya, apakah pelaku tidak melanggar HAM para korban?. Merampas martabat, kehormatan dan kebebasan dari korban?. Ingat, korban bukan hanya korban itu sendiri tapi keluarganya pun menjadi korban. Bayangkan saja bagaimana jika kejahatan ini menimpa anak/ saudara kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar